PEMBELAJARAN BAHASA DALAM MASYARAKAT DWIBAHASA
PEMBELAJARAN BAHASA DALAM MASYARAKAT DWIBAHASA
RESUME
Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia
Semester 3
Dosen Pembimbing :
M. Bayu Firmansyah M.Pd
Disusun
Oleh :
APRILLIA
CAESAR A.L (17188201050)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP PGRI
PASURUAN
2018 – 2019
A. Pengertian Kedwibahasaan : Lado menyebutkan bahwa seseorang
disebut dwibahasawan bila mereka memiliki kemampuan 2 bahasa dengan sama atau
hampir sama baiknya. Macky mengatakan bahwa seseorang disebut dwibahasawan asal
mereka melakukan pemakaian secara bergantian dua bahasa atau lebih.
B. Kontak Bahasa Dalam
Masyarakat Dwibahasa : Masyarakat Indonesia pada umumnya tergolong masyarakat
dwibahasa. Mereka menguasai bahasa pertama (B1) Bahasa Daerah, dan (B2) Bahasa
Indonesia. Gejala yang berhubungan dengan terjadinya masyarakat dwibahasa di
Indonesia khusunya di dunia yakni kontak bahasa. Kontak bahasa adalah pengaruh
bahasa satu kepada bahasa lain baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.
Akibatnya sering timbul interferensi atau transfer. Kontak bahasa yang menimbulkan
interferensi sering dianggap menimbulkan peristiwa negatif. Lain halnya dengan
transfer bahasa, transfer bahasa dipandang sebagai gejala yang wajar dan positif.
C.
Tipologi Kebahasaan
: Menurut
Weinreich (1953) menunjukkan ada 3 tipe kedwibahasaan yaitu a) kedwibahasaan
majemuk, b) kedwibahasaan koordinatif, c) kedwibahasaan sub-ordinatif. Tipe kedwibahasaan
menurut Weinreich ini kelihatannya didasarkan pada derajat atau tingkat
penguasaan seseorang terhadap keterampilan berbahasa.
D. Fenomena Bahasa Antara
: Bahasa
Antara adalah bahasa yang dihasilkan oleh seseorang pembelajar yang sedang dalam
proses menguasai B2. Bahasa antara pembelajar banyak terjadi interferensi
ataupun campur kode. Interferensi sendiri adalah kesulitan tambahan dalam
proses menguasai bunyi, kata atau konstruksi bahasa kedua sebagai akibat adanya
perbedaan antara B1 dan B2 sehingga kebiasaan ber-B1 terbawa ke dalam ber-B2
atau sebaliknya. Interferensi ini selalu bersifat individual dan tidak menentu,
artinya kesulitan tambahan yang terjadi pada seorang pembelajar B2 yang satu
akan berbeda dengan pembelajar B2 yang lain. Sedangkan campur kode disebut
sebagai salah satu fenomena yang terjadi pada pembelajar yang juga tidak mungkin
dihindarkan. Campur kode sendiri adalah fenomena pemakaian dua bahasa atau lebih
dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain
secara konsisten (Kachru, 1978)
E. Permasalahan Dalam
PBI
: Masyarakat Indonesia pada umumnya adalah masyarakat dwibahasa, dengan Bahasa Daerah
sebagai B1 dan Bahasa Indonesia sebagai B2. Namun, didalam PBI fenomena penyimpangan
Bahasa Indonesia tidak pernah di perhatikan dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum
pengajaran Bahasa Indonesia hanya bertumpu pada Bahasa Indonesia itu sendiri.
Ketika kita sudah menyadari, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat
dwibahas, pengajaran bahasa Indonesia harusnya disusun, direncanakan dengan
mempertimbangkan situasii kebahasaan masyarakat pemakai bahasa.
F. Pengukuran Kedwibahasaan
: Menurut
Mackey (1956) pengukuran kedwibahasaan dapat dilakukan melalui beberapa aspek yaitu
aspek tingkat, aspek fungsi, aspek pergantian, aspek interferensi. Pengukuran kedwibahasaan
dari aspek tingkat dapat dilihat
dari kemampuan anak dalam berbahasa seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Dari aspek fungsi, pengukurannya
dapat dilakukan melalui kemampuan pemakaian dua bahasa yang dimiliki sesuai
dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Dari aspek pergantian, pengukurannya dapat dilihat dari seberapa jauh pemakai
berbahasa mampu berganti dari satu bahasa ke bahasa lain. Yang terakhir yaitu aspek
interferensi, pengukurannya bisa dilihat dari kesalahan berbahasa yang
disebabkan oleh terbawanya kebiasaan ujaran berbahasa atau dialek bahasa
pertama dengan kegiatan berbahasa atau dialek bahasa kedua.
Komentar
Posting Komentar