DRAMA INDONESIA KONTEMPORER
DRAMA INDONESIA KONTEMPORER
Diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Sastra Kontemporer
Semester 6
Dosen Pengampu :
M. Bayu Firmansyah, M.Pd
Disusun Oleh Kelompok 4 :
1. Nias Naeni (17188201039)
2. Fatchiyatul Ilmiyah (17188201041)
3. Aprillia Caesar A.L (17188201050)
4. Hikmah Maulidyah (17188201055)
5. Ach. Asrori (17188201057)
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Pedagogi dan Psikologi
UNIVERSITAS PGRI WIRANEGARA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil dari
proses kreatif seseorang yang biasa disebut sastrawan. Karya sastra juga
dapat dipandang sebagai luapan atau curahan perasaan dan pikiran sastrawan
sebagai produk imajinasi. Karya sastra ini memiliki berbagai genre, diantaranya
ialah puisi, prosa, dan drama, tetapi dramalah yang lebih dekat dengan
masyarakat. Marx (1961:1) mengatakan bahwa of all the art, drama
is the closest to the people. No other art depends so much on the human
elemen (dari semua karya seni, dramalah yang paling dekat dengan
manusia. Tidak ada seni lain yang sangat bergantung pada elemen manusia). Pendapat
ini memang benar, karena drama memberikan gambaran secara langsung melalui
pertunjukan atau pementasannya sehingga penikmat karya sastra tidak merasa
bosan. Seperti saat menikmati karya sastra dengan genre novel yang terkadang
merasa jenuh saat membaca dan jika tidak bisa benar-benar berimajinasi atau
menggambarkan dengan baik sesuai dengan jalan cerita maka penikmat karya
tersebut tidak akan bisa benar-benar menikmati karya itu. Berbeda halnya dengan
drama, tanpa menggambarkan atau berimajinasi bagaimana ceritanya, penikmat
drama sudah dapat menikmati karya tersebut walau tetap saja dalam menikmati
drama tetap harus fokus. Kebanyakan orang lebih mudah memahami sesuatu apabila
mereka dibantu dengan audio dan juga visual, sehingga layaklah kalau drama
disebut sebagai karya sastra yang erat dengan masyarakat dan lebih dapat
menghibur penikmatnya.
Kata drama sudah melekat pada masyarakat. Namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang kurang memahami perihal drama, banyak masyarakat yang masih rancu antara drama dan teater, masyarakat tidak mengetahui unsur-unsur drama. Dalam bab ini akan menjelaskan mengenai mengapresiasi drama/ teater Indonesia kontemporer yang di dalamnya akan membahas: pengertian drama/ teater, sejarah drama/ teater Inonesia, ciri – ciri drama/ teater Indonesia kontemporer.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian drama/ teater?
2.
Bagaimana sejarah drama/ teater
Indonesia?
3.
Apa pengertian drama/ teater Indonesia
kontemporer?
4.
Apa saja ciri – ciri drama/ teater
Indonesia kontemporer?
1.3 Tujuan
1.
Menjelaskan pengertian drama/ teater.
2.
Menjelaskan sejarah drama/ teater
Indonesia.
3.
Menjelaskan pengertian drama/ teater
Indonesia kontemporer.
4.
Menjelaskan ciri – ciri drama/ teater
Indonesia kontemporer.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Drama/ Teater
Kata ‘drama’ berasal dari
kata Greek (bahasa Yunani) ’draien’, yang diturunkan dari kata ‘draomai’, yang
semula berarti berbuat, bertindak, dan beraksi. Selanjutnya kata drama
mengandung arti kejadian, risalah, dan karangan. Drama merupakan bagian kecil dari karya
sastra, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa drama merupakan gambaran
ataupun cerminan dari kehidupan manusia, didalam drama juga terdapat sebuah
masalah layaknya kehidupan dalam kenyataan. Menurut Ratna (2009:368), drama
merupakan bagian dari prosa, seperti cerpen dan novel. Bakdi Soemanto (2001)
dalam bukunya menuliskan bahwa kata drama berasal dari kata Yunani Kuno draomai yang
berarti bertindak atau berbuat dan drame yang berasal dari
kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Kata drama juga dianggap
telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277
SM). Wiyanto (2002:3) menyatakan bahwa drama dalam masyarakat memiliki dua
arti, yaitu drama dalam arti luas dan drama dalam arti sempit. Dalam arti luas,
drama adalah semua bentuk tontonan yang mengandung cerita yang dipertunjukkan
di depan orang banyak. Dalam arti sempit, drama adalah kisah hidup manusia
dalam masyarakat yang diproyeksikan ke atas panggung, disajikan dalam bentuk
dialog, dan gerak berdasarkan naskah. Budianta,
dkk (2002:95) berpendapat bahwa drama merupakan sebuah genre sastra yang
penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialog atau cakapan di
antara tokoh-tokoh yang ada. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat bahwa
drama merupakan karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog (Sudjiman, 1990 dalam Siswanto,
2008:163). Hassanudin (1996:7 dalam Dewojati, 2012:8) mengungkapkan bahwa drama
adalah karya yang memiliki dua dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukan.
Pengertian drama
sebagai suatu genre sastra lebih erfokus sebagai suatu karya yang lebih
berorientasi kepada seni pertunjukan dibandingkan sebagai genre sastra. Drama
sebagai pertunjukan suatu lakon merupakan tempat pertemuan dari beberapa cabang
kesenian yang lain seperti seni sastra, seni peran, seni tari, seni deklamasi,
seni suara. Drama adalah suatu bentuk seni yang bercerita lewat percakapan dan action tokoh - tokohnya. Akan tetapi,
percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai pengertian action (Soemanto,2001:3). Menurut Tarigan (1986), drama
adalah seni yang menggarap lakon – lakon mulai sejarah penulisannya hingga
pementasannya, selain itu drama juga merupakan hidup yang disajikan dalam
gerak. Dalam banyak pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa drama merupakan
suatu bentuk karya sastra yang berisi kisah hidup manusia mengenai konflik
hidup, sikap, dan juga sifat dalam bentuk dialog yang dituangkan di atas
panggung dengan menggunakan percakapan dan gerak oleh pemain dihadapan penonton
dan pendengar.
Sedangkan,
‘teater’ juga berasal dari bahasa Yunani, “Teatron”
yang diturunkan dari kata ‘theomai’ yang berarti takjub melihat, memandang. Jadi jelas,
jika kita berbicara tentang ‘teater’, sebanarnya kita bicarakan soal proses
kegiatan dari lahirnya, penggarapan, penyajian, atau pementasan smpai dengan
timbulnya tanggapan atau reaksi penonton atau public. Dengan kata lain, teater
memiliki arti yang lebih luas, sekaligus menyangkut seluruh kegiatan dan proses
penjadian dari proses penciptaan, penggarapan, penyajian atau pementasan, dan
penikmatan.
2.2 Sejarah Drama/ Teater Indonesia
Drama sudah ada sejak zaman dahulu. Ada tiga macam teori
yang mempersoalkan asal mula drama, yaitu 1) drama berkembang dari upacara
religius primitif, 2) drama memberi kesan bahwa himne pujian dinyanyikan
bersama di depan makam seseorang pahlawan, maksud disini ialah pembicara
memperagakan kehidupan lama dari almarhum pahlawan itu dan berpisah dari koor,
3) drama tumbuh dari kecintaan manusia untuk bercerita (Soemanto, 2001:15).
Drama di Indonesia memiliki sejarah perkembangannya, berikut penjelasannya:
1)
Sastra Drama Melayu-Rendah (1891-1940)
Drama di Indonesia dimulai pada tahun
1891, dengan hadirnya Komedie Stamboel. Rombongan drama modern pertama tersebut
dibentuk oleh August Mahieu dan Yap Goan Tay. Keduanya merupakan orang-orang
Cina peranakan Tionghoa yang telah terputus kulturnya dengan Cina, namun belum
berakar betul dengan budaya pribumi. Mereka mencari budaya baru dalam hiburan
hingga hadirnya Komedie Stamboel tersebut.
Sampai tahun 1901, Komedie Stamboel belum
juga melahirkan sastra drama, dalam arti belum memiliki cerita yang diungkapkan
secara tertulis lewat dialog. Setiap pementasan, cerita masih dituturkan oleh
progammameester (semacam sutradara) dan setiap pemain harus menciptakan
dialognya sendiri. Baru
pada tahun 1901, seorang pengarang bernama F. Wiggers menulis sebuah naskah
drama yang berjudul Lelakon Beij Soerio Retna dalam bentuk satu babak. Sastra
drama asli yang benar-benar modern dalam bentuknya adalah karya pengarang roman
Melayu Rendah yang terkenal bernama Kwee Tek Hoay berjudul Allah jang Palsoe
terbit 1919. Buku drama tersebut dicetak 2.000 eksemplar, dan sejak saat itu
berkembang sastra drama Melayu Rendang golongan Tionghoa ini.
2) Sastra
Drama Poejangga Baroe (1926-1939)
Babasari merupakan karya sastra drama
pertama yang ditulis dengan bahasa Indonesia standar dan ditulis oleh orang
Indonesia, yaitu pengarang Roestam Effendi pada tahun 1926. Berbeda dengan
sastra drama orang-orang Tionghoa yang kebanyakan dialognya ditulis dalam
bentuk prosa, maka Babasari ditulis dalam bentuk sajak.
Selain naskah drama tersebut, terdapat
pula beberapa naskah drama yang hadir pada angkatan ini. Mulai dari naskah
drama berjudul Ken Arok dan Ken Dedes (1934) yang ditulis oleh Mohamad Yamin,
Kalau Dewi Tara Sudah Berkata. Selain itu, Sanusi Pane juga menulis beberapa
judul naskah, yaitu Airlangga (1928), Enzame Garudaflucht (Garuda Tervang
Sendirian, 1932), keduanya ditulis dengan bahasa Belanda, Kertajaya (1932).
Arminj Pane menulis Lukisan Masa (1937). Setahun di Bedahulu (1938), dan Nyai
Lenggang Kencana (1939). Pengarang Ajirabas juga menulis Bangsacara dan
Ragapadmi.
3)
Sastra
Drama Zaman Jepang (1941-1945)
Mula-mula berkembang rombongan sandiwara
profesional. Namun, karena Jepang sangat anti terhadap budaya Barat sehingga
melenyapkan semua bentuk hiburan yang berbau Belanda. Tetapi menjelang penduduk
Jepang muncullah rombongan sandiwara amatir (sandiwara penggemar) Maya dibawa
Usmar Ismail dan D. Djajakusuma.
Beberapa penulis drama
yang penting pada masa ini yakni El Hakim atau Dr. Abu Hanifah yang telah
menulis drama sejak tahun 1943 yang berjudul Taudan di atas Asia, Intelek
Istimewa, Dewi Reni, Insan Kamil, Rogaya dan Bambang Laut. Usmar Ismail menulis
Citra (1943), Liburan Seniman (1944). Api (1945), dan lain-lain. Sedangkan
Armijn Pane menulis Kami Perempuan (1943), Antara Bumi dan Langit (1944), Baran Tiada
Berharga (1945), Idrus menulis Kejahatan Membalas Dendam, Jibaku Aceh (1945),
dan Dokter Bisma (1945). Amal Hamzah menulis komedi berjudul Tuan Amin (1945).
4) Sastra Drama Sesudah Kemerdekaan (1945-1970)
(a) Tahun
1950-an
Pada tahun 1950-an penulis drama yang
muncul antara lain novelis ternama Achdiat Kartamihardja menulis Bentrokan
dalam Asmara (1952), Keluarga Raden Sastro (1954), Pakaian dan Kepalsuan
(1954), dan Pak Dullah in Extremis (1959), dan Puncak Kesepian. Aoh K.
Hadimadja menulis Lakbok dan Kapten Sjap. Sri Martono menulis Genderang
Bratayudha, dan Rustandi Kartakusumah menulis Prabu dan Puteri (1951).
Tokoh penulis drama paling produktif pada
masa ini ialah Utuy Tatang Sontany yang telah menulis sejak masa revolusi.
Drama-dramanya sangat banyak, antara lain Awal Mira (1951), dan Di Langit Ada
Bintang (1955).
(b) Tahun
1960-an
Kecuali Utuy Tatang Sontany, penulis
drama pada tahun 1950-an mulai banyak yang mengundurkan diri, atau tidak
menulis lagi. Sedangkan banyak juga penulis baru yang hadir yaitu Motinggo
Busje yang menulis Sejuta Matahari (1960), dan Barabah (1961)
Pada tahun ini ada tiga kota yang
terkenal dengan perkembangan dramanya, yaitu Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Di Jakarta terdapat penulis drama Asrul Sani dan Steve Liem, di Bandung
terdapat penulis Jim Lim dan Suyatna Anirun, sedangkan di Yogyakarta terdapat
banyak teater, mulai Teater Muslim, Teater Kristen, dengan para penulis naskah
Arifin C. Noer, Harymawan, Moh, Dipenegoro, dan Ws Rendra.
5) Sastra
Drama Mutakhir
Berdirinya Dean Kesenian Jakarta dan
Taman Ismail Marzuki sangat berpengaruh dengan perkembangan drama mutakhir.
Dewan ini diawali dengan pembentukan akademi Jakarta tahun 1968. Tokoh
yang sangat menonjol dan memperlihatkan sastra drama mutakhir adalah Putu
Wijaya. Jauh sebelum tahun 1970-an, Putu Wijaya sudah mulai menulis naskah yang
konvensional. Beliau pernah bergabung dengan Bengkel Teater Rendra tahun 1967,
juga Teater Kecil-nya Arifin C Noer, dan Teater Populer-nya Teguh Karya. Namun
akhirnya, Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri. Drama-drama yang dikenal
konvesional karya Putu Wijaya antara lain Dalam Cahaya Bulan (1964), Bila Malam
Bertambah Malam (1965), Burung Gagak (1966), Almarhumah (1969).
Selain itu, teater Indonesia juga
memiliki sejarah. Sejarah perkembangan teater di Indonesia di mulai dari
perkembangan teater tradisional hingga modern seperti saat ini. Utuk lebih
memahami sejarah perkembangan teater, berikut penjelasannya :
·
Teater
Tradisional
Kasim Achmad berpendapat
bahwa Zaman Hindu menjadi ujung tombak sejarah teater di Indonesia. Hal
tersebut ditandai oleh terdapatnya unsur-unsur teater pada pelaksanaan upacara
adat agama Hindu. Teater secara penuh disebut sebagai teater ketika telah
melepaskan diri dari unsur upacara adat. Masyarakat terus mengembangkan teater
kala itu dengan seni pertunjukan spontanitas kala itu.
Pembentukan
teater di Indonesia sangat beragam. Ini karena Indonesia terdiri atas berbagai
macam suku dan budaya. Sehingga melahirkan tata cara yang berbeda pula. Beberapa
contoh teater tradisonal di Indonesia di antaranya adalah drama gong, lenong,
ludruk, wayang wong, wayang kulit, ketoprak, ubrug, arja, randai, dan lainnya.
·
Teater Transisi
Teater transisi
disebut juga sebagai teater modern. Teater transisi dilatarbelakangi oleh
pengaruh budaya lain sehingga memberi sentuhan warna yang berbeda. Unsur teater
transisi terdiri atas teknik teater barat yang mana pada masa itu dilakoni oleh
orang Belanda pada tahun 1805. Pertunjukan teater transisi pada masa kolonial Belanda
menjadi salah satu alasan berdirinya gedung Schouwburg atau Gedung Kesenian
Jakarta di tahun 1821. Teater transisi mulai dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia pada tahun 1891 atau bertepatan dengan berdirinya Komedie Stamboel di
Surabaya. Tidak hanya sampai di situ saja, teater transisi terus mengalami
perkembangan hingga berdirinya The Malay Opera Dardanella atau
Sandiwara Dardanella. Teater tersebut didirikan oleh Willy Klimanoff di tahun
1926. Tak lama setelahnya, perkembangan teater transisi terus bermunculan
hingga zaman penjajahan Jepang seperti Sandiwara Orion, Komidi Bangsawan, dan
lainnya.
Sejarah
perkembangan teater Indonesia dari tahun ke tahun (1920 – 1990an), berikut
penjabarannya:
·
Teater
Indonesia Periode 1920-an
Periode 1920an
menjadi awal berkembangnya drama-drama Pujangga Baru. Naskah drama tersebut
ditulis berdasarkan masalah penjajahan dan penindasan yang terjadi kala itu.
Unsur teater ini disusun menggunakan Bahasa Indonesia dengan bentuk dialog
antar tokoh dan sajak.
·
Teater Indonesia Periode 1930-an
Teater pada masa
ini merupakan lanjutan dari periode sebelumnya yang bertemakan perjuangan. Akan
tetapi, terdapat tambahan warna dengan sentuhan cerita kerajaan dan kisah
mistis. Beberapa di antaranya adalah Keris Empu Gandring yang ditulis oleh Imam
Supardi, Hantu yang ditulis oleh Mr. Singgih, dan Nyai Blorong yang ditulis
oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo. Selain itu, Ir. Soekarno juga berkontribusi
terhadap perkembangan teater di Indonesia di masa pengasingannya ke Bengkulu.
Beliau menuliskan lakon Dr. Setan, Kriukut Bikutbi, dan Rainbow di tahun 1927.
·
Teater Indonesia Periode 1940-an
Teater
ini berkembang di masa penjajahan Jepang sebagai bentuk dukungan terhadap
pemerintahan totaliter Jepang. Meskipun demikian, ide kreatif muncul dari
Kamajaya dan Anjar Asmara yang menginisiasi Badan Pusat Kesenian Indonesia. Ide
tersebut diwujudkan oleh Presiden Soekarno yang didukung oleh Sanusi Pane,
Armijn Pane, Mr. Sumanang, Kama Jaya, ddan Sutan Takdir Alisjabana.
·
Teater Indonesia Periode 1950-an
Periode teater
1950an juga disebut sebagai perkembangan teater di awal kemerdekaan. Teater ini
pada umumnya terdiri atas kisah-kisah perenungan atas jasa pahlawan yang gugur
memperjuangkan kemerdekaan. Kisah tersebut menggoreskan kesan dan nilai keberanian,
kekecewaan, kemunafikan, pengorbanan, keikhlasan, sikap pengecut, dan
kepahlawanan. Beberapa karya teater Indonesia periode 1950an adalah Awal dan
Mira pada tahun 1952, Sayang Ada Orang Lain pada tahun 1953 oleh Utuy Tatang
Sontani, Hanya Satu Kali oleh John Galsworthy pada tahun 1956, dan The Man in
Grey Suit oleh Averchenko.
·
Teater Indonesia Periode 1960 – 1970-an
Pada periode
ini, teater berkreasi dengan menggabungkan unsur tarian, dagelan, dan unsur
etnis lainnya. Beberapa karya terkenal di masa ini di antaranya adalah Paman
Vanya oleh Anton Chekhov, Biduanita Botak dan Badak-badak oleh Ionesco di tahun
1960, Pangeran Geusan Ulun oleh Saini KM di tahun 1961, Teater Teror, dan
Teater Koma.
·
Teater Indonesia Periode 1980 – 1990-an
Perkembangan
teater Indonesia pada periode ini mulai mendapatkan perhatian khusus dengan
didirikannya lembaga teater. Dengan adanya lembaga teater tersebut,
lahirlah beragam festival teater seperti Festival Teater Jakarta, Festival Seni
Pertunjukan Rakyat di Yogyakarta, Teater Gapit di Solo, Teater Bel di Bandung,
dan lainnya.
·
Teater Kontemporer Indonesia
Teater
kontempore Indoenesia menunjukkan perkembangan dunia teater dengan adanya
sentuhan gaya baru. Beberapa seniman menggabungkan unsur teater konvensional
dengan teater eksperimental dengan jangkauan ekspresi yang lebih luas.
Menurut Harymawan
(1986:5) sejarah di Indonesia adalah sebagai berikut:
1)
Sebelum abad ke-20, tidak ada naskah dan pentas yang
ada hanyalah cerita – cerita lisan yang disampaikan dari ayah ke anak. Drama –
drama rakyat, istana, keagamaan, dilapangan terbuka, atau di arena - arena.
2)
Permulaan abad ke-20, timbul bentuk – bentuk baru
seperti komedi, tonil, opera, wayang orang, ketoprak, dan juga ludruk. Tidak menggunakan naskah tetapi sudah memakai
pentas dan penggunaannya berbingkau.
3)
Zaman Pujangga Baru, muncul naskah drama asli yang
dipakai oleh pementasan amatir. Rombongan profesional tidak menggunakannya.
4)
Zaman Jepang, pada zaman ini penggunaan naskah sudah
diharuskan, sehongga rombongan profesional terpaksa belajar membaca.
5)
Zaman kini, rombongan profesional membuang kembali
naskah. Organisasi amatir setia pada naskah, sayang sering mengabaikan
pengarang, penyadur, atau penyalinnya.
Wiyanto (2002:
5-6) menuliskan bahwa menurut sejarahnya, lahirnya drama baik dalam negeri atau
di luar negeri bermula dari peristiwa yang sama. Upacara keagamaan yang
dilakukan oleh pemuka agama menjadi asal usul adanya drama, mereka menyembah
para dewa dengan menyanyikan puji – pujian yang semakin lama semakin berkembang
mengikuti perkembangan zaman tidak hanya dengan puji – pujian tetapi juga
dengan cerita dan juga doa. Dalam upacara agama, drama di lakukan di lapangan
terbuka, penonton duduk melingkar atau membentuk setengah lingkaran, dan
upacara dilakukan di tengah lingkaran tersebut (Oemarjati, 1971:15). Lambat
laun upacara ini semakin menonjolkan penceritaan, mereka bergerak sesuai yang
dibacakan oleh narator di jalan - jalan dan dilihat oleh penonton, jika
penonton bubar maka jelaslah bahwa mereka yang iring – iringan mempergakan
sebuah cerita itu sudah pergi, inilah awal mula adanya drama di Yunani.
Di Indonesia,
upacara – upacara agama bersifat lebih puitis daripada di Barat (Oemarjati,
1971:15). Semakin lama mantra dan doa yang dilakukan pemuka agama ini dengan
mengangkat tangan , dan sedikir memberikan gerakan – gerakan yang semakin
memperdalam maksud dari mantra. Gerakan – gerakan yang dilakukan ini diirigi
dengan alat musik kentongan atau gendang. Dimulai dengan tradisi wayang orang
yang tersebar ke luar batas – batas istana hingga ke kota – kota pada akhir
abad 19 tepatnya tahun 1901 oleh seorang peranakan Belanda bernama F. Wiggers,
berupa sebuah drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Untuk selanjutnta
bermunculan naskah – naskah drama dalam bahasa Melayu rendah yang kemudian
berkembang bentuk – bentuk kesenian daerah seperti topeng, ludruk, dan ketoprak
yang sangat populer dan hidup.
Oemarjati
(1971:21) dalam bukunya menyatakan bahwa perkembangan ini nampak denga
bermunculannya himpunan – himpunan drama seperti rombonga “Abdoel Moeloek”,
“Tjahaja Timoer”, “Dardanella” (teater ini merombak tradisi komidi bangsawan),
“Bolero”, “Orion”, dan yang paling akhir adalah perkumpulan yang didirikan oleh
Andjar Asmara, tangan kanan A.Piedro, pada tahun 1942, semua perkumpulan ini
terus berkembang bersamaan teater kecil yang ada di masing – masing daerah.
Teater kecil ini memberi keleluasan bagi tiap sastrawan untuk mendapatkan
tempat yang selayaknya teater kecil menjadi penampung, penyalur, dan peraga
bakat – bakat seni yang ada pada masyarakat saat itu. Menurut Oemarjati
(1971:40) jika digariskan secara umum, kegiatan penulisan yang benar – benar
mengkhusus pada bentuk dialog, dimulai seorang Indo yaitu Victor Ido, yang
diikuti oleh penulis – penulis China peranakan hingga sampai pada orang – orang
Indonesia itu sendiri. Sastra lakon (drama) di Indonesia yang paling awal dan
dikenal ialah Bebasari (1926) karya Roestam Effendi, karangan lain diantaranya
adalah Ken Arok dan Ken Dedes (Pujangga baru, 1934) karya Muhammad Yamin,
Kertajasa (Timbul, 1932) karya Sanuse Pane, Lukisan Masa (Pujangga baru, 1937)
karya Armijn Pane, Liburan Seniman (1944) karya Usmar Ismail, Kami Perempuan
(1943) karya Armijn Pane, Dokter Bisma (1945) karya Idrus, Tuan Amin (1945)
karya Amal Hamzah, dll. Dari perkembangan yang terus berjalan inilah lahir
tontonan drama, semakin lama drama yang sederhana ini semakin berkembang dan
menjadi drama yang seperti sekarang ini dengan banayk pemain yang sudah
terlatih, tata rias, tat panggung, tata cahaya, maupun unsur artistik yang
lainnya sehinggay drama yang sekarang semakin indah.
2.3 Pengertian Drama/ Teater Indonesia Kontemporer
Seni teater Kontemporer
merupakan seni teater yang mengandung unsur kekinian. Teater ini tumbuh dan
berkembang diantara tokoh pegiat teater dan komunitas teater. seni teater ini
tidak menyasar pada banyaknya penonton atau pertunjukan yang megah. Pertunjukan
ini biasanya dilakukan menyampaikan gagasan si sutradara pada kalangan yang
memahami teater. Sehingga pesan-pesan yang disampaikan dapat tersampaikan
secara tepat pada audiensnya.
Drama
kontemporer juga merupakan drama yang penuh dengan pembaharuan, penyajian yang
baru, gagasan baru, ide-ide baru bahkan ide-ide baru dari penggabungan konsep
barat dan timur. Pada seni drama atau seni teater kontemporer ini banyak
dijumpai dalam pertunjukkan teater jalanan, teater persembahan, dan juga teater
kemanusiaan.
2.4 Ciri – ciri Drama/ Teater Indonesia
Kontemporer
Adalah jenis teater yang mengandung
unsur kekinian fungsinya untuk menyampaikan gagasan sutradara pada kalangan
yang memahami teater. Sehingga pesan-pesan yang dapat disampaikan mampu
tersampaikan secara tepat kepada penontonnya.
1) Ceritanya berasal dari buah pikir dan ide
pada pribadi seorang sutradara
2) Menggunakan bahasa nasional atau
internasional di dalam setiap dialognya
3) Pertunjukkan diselenggarakan sesuai dengan
tema. Dapat dilakukan pada pentas tertutup dan terbuka tanpa atau dengan
panggung.
4) Cerita yang disajikan berisi nilai atau
pesan sutradara yang hendak disampaikan penonton tertargetnya.
5) Dialognya sebagian dari naskah, sebagian
dari improvisasi.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
§ Drama merupakan suatu bentuk karya sastra
yang berisi kisah hidup manusia mengenai konflik hidup, sikap, dan juga sifat
dalam bentuk dialog yang dituangkan di atas panggung dengan menggunakan
percakapan dan gerak oleh pemain dihadapan penonton dan pendengar. Sedangkan teater memiliki arti yang lebih luas, sekaligus
menyangkut seluruh kegiatan dan proses penjadian dari proses penciptaan,
penggarapan, penyajian atau pementasan, dan penikmatan.
§ Drama di Indonesia
memiliki sejarah perkembangannya: Satra drama
melayu-rendah (1891-1940), sadtra drama poejangga baroe (1926-1939),
satra drama zaman Jepang (1941-1945), sastra drama sesudah kemerdekaan
(1945-1970), sastra drama mutakhir. Selain itu teater Indonesia juga memiliki
sejarah: Teater Indonesia periode 1920-an, teater Indonesia periode 1930-an,
teater Indonesia periode 1940-an, teater Indonesia periode 1950-an, teater
Indonesia periode 1960-1970-an, teater Indonesia periode 1980-1990-an, teater
kontemporer Indonesia.
§ Drama
kontemporer juga merupakan drama yang penuh dengan pembaharuan, penyajian yang
baru, gagasan baru, ide-ide baru bahkan ide-ide baru dari penggabungan konsep
barat dan timur.
§ Ciri –
ciri drama/ teater Indonesia kontemporer: ceritanya berasal dari ide sutradara,
menggunakan bahasa nasional atau internasional, pertunjukan diselenggarakan
sesuai dengan tema, cerita yang disajikan berisi pesan sutradra yang hendak
disampaikan, dialognya sebagian dari naskah dan sebagian dari improvisasi.
3.2 Saran
Bagi para pembaca makalah
ini diharapkan bisa mengetahui dan memahami tentang pengertian drama/ teater,
sejarah drama/ teater Indonesia, pengertian drama/ teater Indonesia
kontemporer, ciri – ciri drama/ teater Indonesia kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Melani, dkk. 2002. Membaca Sastra (Pengantar
Memahami Sastra untuk Perguruan
Tinggi). Magelang: Indonesia Tera.
Dewojati, Cahyaningrum. 2012. Drama, Sejarah, Teori, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Javakarsa
Media.
Harymawan, RMA. 1986, “Dramaturgi” . Bandung: Rosdakarya.
(diakses pada tanggal 7
April 2020 pukul 12.30)
(diakses
pada tanggal 7 April 2020 pukul 20:13)
Oemarjati, B.S. 1971. Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa,
Sastra, dan Budaya Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Grasindo.
Soemanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Wiyanto, Asul. 2002. Terampil
Bermain Drama. Jakarta: Grasindo.
Komentar
Posting Komentar